Pernah dengar istilah, "Listen to reply but not to understand"? Pasti sangat akrab dengan kutipan ini di media daring yah kan.
Kali ini aku ingin sedikit berbagi mengenai sesi kuliah Design Thinking yang sedang ku ampu di program pascasarjana salah satu universitas swasta. Mungkin banyak dari kalian yang sudah malang-melintang mempelajari Business Canvas Model atau Value Preposition Change, pasti pernah dengar dengan konsep "Empathy Map". Sebuah peta yang disusun sedemikian rupa untuk menggali suatu "insight".
Lantas, seberapa mudah menemukan "insight"? beberapa dari kita pasti berfikir skeptis seperti saya diawal perkuliahan. Sering mengsurvey target market dalam aktifitas bekerja, setidaknya membuat saya merasa saya memiliki gambaran bagaimana memetahkan peta ini dengan baik.
Butuh 2x mencoba sebelum saya benar-benar dinyatakan oleh Dosen telah menemukan "insight" dari sesi wawancara yang saya lakukan. Dalam tugas tersebut, kami diminta untuk mewawancara orang-orang terdekat kami untuk ditanyai mengenai interaksi mereka selama masa pandemi berlangsung.
Tentu saja, mayoritas menyatakan informan mereka bosan, sebal, khawatir, takut, frustasi dan lainnya. Dari sesi pertama bersama Dosen, semua dari kami habis-habisan dicecar pertanyaan "mengapa, kenapa, bagaimana dan lainnya". Jujur saja saat itu saya juga jadi sebal karena menganggap saya sudah cukup menemukan "insight", saya berfikir "kenapa harus dipersulit sih?" dan ternyata sekarang saya baru sadar, memang hal tersebut belum ditemukan.
Kami diajarkan bahwa sering kali kita terjebak pada "articulate needs" yakni hal-hal yang terukur dan terlihat. Sederhananya, bisa diasumsikan dengan mudah. Sedangkan dibalik hal-hal tersebut bisa saja terdapat "insight" sesungguhnya yang harus kita galih lebih dalam.
Lalu, apa hubungannya dengan kutipan diawal tulisan ini? Saya baru paham, mengapa saya dan teman-teman gagal menemukan jawaban yang diharapkan oleh Dosen kami. Kami, atau mungkin saya sendiri hanya bertanya untuk mencari pertanyaan lanjutan bagi informan. Alih-alih dengan melanjutkan pertanyaan dari jawaban mereka, maka "insight" bisa ditemukan.
Saya baru sadar, saya terjebak. Terjebak dalam situasi mendengar hanya untuk menjawab, bukan untuk mengerti atau memahami jawaban dari sang informan.
Padahal, bisa jadi "insight" sudah bisa saya temukan sejak wawancara pertama kali saya lakukan. Terlebih informan yang saya pilih adalah pacar saya. Bukannya mudah yah, observasi sudah maling start dilakukan setahun lebih dulu. Beda dengan kalau kita terjun ke lapangan, dan diminta mengubek-ubek isi otak seseorang yang benar-benar orang baru untuk kita.
Kali kedua saya bertanya, saya sudah dibedah dua kali pula oleh Dosen. Malam itu, saya mencoba untuk bertanya kembali pertanyaan yang dijadikan tema dari "Empathy Map" . Dengan kepala lebih dingin, dan mental siap mau "mendengarkan" saya kembali bertanya. Informan sama, pertanyaanpun sama, bahkan kali ini tidak diwawancara secara langsung, tetapi outcomes yang saya dapatkan justru menjadi jawaban dari hal yang saya coba pecahkan dengan peta empati tersebut.
Saat itu saya justru menemukan "insight" yang saya cari, dengan berbagai hal-hal kuat yang menjadi hasil observasi, dan langsung berfikir strategis terasa gampang. Berbekal dengan materi pembekal mengenai Hierarchy of Needs oleh Abraham Maslow, saya akhirnya yakin saya sudah menemukan "insight" yang memiliki bukti-bukti kuat.
Jikalah ada hal paling berharga yang saya dapat dalam beberapa kali pertemuan di mata kuliah Design Thinking ini, saya merasa pengalaman untuk belajar menjadi pendengar yang baik adalah hal yang paling saya adopsi dari proses belajar ini. Menemukan "insight" hanyalah jalan untuk beberapa langkah lebih maju menjadi pribadi dan profesional yang bisa memahami dengan lebih baik.
Akhir kata, inilah tips saya untuk menjadikan hal-hal yang sistematik seperti konsep "Design Thinking" agar menjadi pembelajaran hidup, seperti mendengar dengan lebih baik. Hal ini juga sangat bagus untuk dipelajari agar menjadi analis market yang baik lho, karena kita bisa memahami perilaku konsumen dengan lebih empiris dan mendalam.
Comments